4 Tantangan dalam Pelaksanaan E-Government
  23 Maret 2018
4 Tantangan dalam Pelaksanaan E-Government
Ilustrasi E-Government

Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Ashkalani menyampaikan betapa bagian dari e-government dapat semakin diakselerasi oleh Pemerintah Kota Banda Aceh melalui regulasi tentang Open Data. “Sejauh ini Banda Aceh memang menjadi percontohan dalam e-government khususnya open data sehingga memudahkan akses masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat terhadap data pembangunan”.

Di sisi lain, pemerintah nasional juga terus mendorong terimplementasikannya e-government atau Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Pertama, Kementerian Keuangan menjadikan SPBE menjadi salah satu kriteria utama dalam skema Dana Insentif Daerah (DID). Hal ini dituangkan ke dalam Pokok Kebijakan DID tahun 2018.

Kriteria ini menambahkan yang sebeumnya sudah ada, yaitu opini BPK atas laporan keuangan harus Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), dan penetapan Perda APBD harus tepat waktu. SPBE yang dimaksud di sini ialah pemanfaatannya dalam perencanaan dan penganggaran di pemerintah daerah.

Kedua, kementerian PAN-RB mengeluarkan Peraturan Menteri no 5 tahun 2018 yang menjelaskan pedoman evaluasi SPBE. Regulasi ini memberikan peran bagi Kementerian PAN-RB untuk mengecek sejauh mana kebijakan, tata kelola, dan layanan SPBE dijalankan.

Deputi Kelembagaan dan Tatalaksana Rini Widyantini menyebutkan bahwa dari evaluasi ini akan tampak tingkat kematangan SPBE di suatu daerah. “Tingkat kematangan yang rendah menunjukkan kapabilitas dan keberhasilan yang rendah, sedangkan tingkat kematangan yang tinggi menunjukkan kapabilitas dan keberhasilan yang lebih tinggi,” ucap Rini pada diseminasi evaluasi SPBE pada Senin (19/3) lalu. SPBE di daerah hadir dalam berbagai bentuk.

Mulai sistem pengadaan barang dan jasa, administrasi kependudukan, aplikasi daring (online) pelayanan perizinan usaha, pengaduan, perencanaan dan perencanaan pembangunan, hingga pendataan yang melibatkan masyarakat dengan, rekam medik yang diakses menggunakan sidik jari, hingga pelayanan perpajakan.

Minat kementerian dan pemerintah juga terus tumbuh selaras dengan ekspektasi masyarakat yang semakin rewel menuntut pelayanan prima. Beberapa Tantangan SPBE Berbagai riset yang dilakukan tentang SPBE ini menunjukkan beberapa isu yang menjadi tantangan. Pertama, berbagai konten SPBE yang perlu diperbaharui untuk memudahkan masyarakat yang mendapatkan informasi kenyataannya banyak yang tidak sesuai harapan. Contoh yang sering terjadi ialah pada layanan pengadaan.

Penyebab utama ialah masalah kapasitas internal unit kerja, yang sebetulnya mengacu ke berbagai pengalaman daerah yang berhasil menerapkannya, ini dapat diatasi dengan Dinas Komunikasi dan Informasi, atau Kantor Pelayanan Data Elektronik yang aktif menjadi tulang punggung atau menularkan keahlian memelihara jaringan hingga pembaharuan konten.

Kedua, tumpang tindih peran institusi pusat dalam menyajikan data. Contoh paling gres ialah penyajian data terpadu kemiskinan, yang dihasilkan oleh BPS, terakhir pada tahun 2015. TNP2K telah mengembangkan Metode Pemutakhiran Mandiri (MPM) sehingga pemerintah daerah yang menggunakan data terpadu untuk perencanaan pembangunan dapat menjadikannya dasar untuk menyasar masyarakat miskin.

Pada saat yang sama, Kementerian Sosial melakukan ujicoba Sistem Layanan Rujukan Terpadu (SLRT) yang fungsinya sama untuk pembaharuan data terpadu, melalui Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial – Next Generation (SIKS-NG). Hal yang membingungkan pemerintah daerah ini disikapi pragmatis, sebagaimana yang dialami Pemerintah Kabupaten Pacitan yang menjalankan keduanya.

Dengan modal yang kami sudah memiliki Sistem Informasi Desa (SID) yang juga memuat data terpadu, maka operator SID juga menjalankan amanat sebagai petugas SLRT yang berkoordinasi melalui Dinas Sosial.

Ketiga, riset yang dilakukan UGM tentang pelaksanaan SPBE di berbagai daerah menunjukkan ketimpangan antara pemerintah daerah di Jawa dan di luar Jawa. Sejatinya kapasitas baik pemerintah daerah di Jawa disebabkan tradisi saling belajar dan kompetisi dengan sesame pemerintah daerah.

“Di Jawa Timur misalnya, yang rata-rata per tahun pemerintah kabupaten dan kota dari sana 30% menjuarai Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (SINOVIK), sebelumnya telah belasan tahun terbiasa dengan kompetisi Otonomi Award yang diselenggarakan Jawa Pos Institute of Pro-otonomi (JPIP)”, ucap Wawan Sobari, pengajar di Universitas Brawijaya yang menjadi salah satu juri SINOVIK.

Karena itu penting bagi pemerintah pusat dan provinsi mendorong lingkungan yang memungkinkan inovasi SPBE tumbuh secara organik dan tidak sekedar menggantungkan pad regulasi yang memaksa.

Keempat, terkait yang disampaikan di awal oleh Ashkalani mengenai Open Data, masih banyak resistensi di unit kerja pemerintah daerah dalam menyajikan data yang diperlukan masyarakat hingga dalam bentuk data set (contohnya dalam format Ms Excel). Mungkin skema DID yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan juga perlu memasukkan kriteria keterbukaan informasi. []