Aplikasi Bhumi dan Relasi Akuntabilitas Sosial
  04 Februari 2025
Aplikasi Bhumi dan Relasi Akuntabilitas Sosial

Maladministrasi dalam pengelolaan agraria dan tata ruang adalah masalah yang sering muncul di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satunya penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di kawasan yang dikitari pagar laut, Tangerang, yang mencuat ke publik beberapa waktu lalu. Dalam kasus tersebut, HGB diterbitkan di atas wilayah perairan laut, jelas melanggar regulasi tata ruang dan agraria. Tidak hanya menunjukkan ketidakpatuhan terhadap hukum, tapi juga lemahnya pengawasan publik terhadap proses perizinan dan tata kelola lahan.

Kasus ini menggarisbawahi pentingnya inovasi sektor publik untuk mencegah maladministrasi, meningkatkan akuntabilitas, dan melibatkan warga dalam pengawasan. Salah satu solusi yang relevan adalah implementasi aplikasi Bhumi, sebuah platform digital yang dirancang untuk mengelola data agraria dan tata ruang secara transparan, terintegrasi, dan akuntabel.

Dalam kasus tersebut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menerbitkan HGB untuk 234 bidang oleh PT Intan Agung Makmur dan 20 bidang oleh PT Cahaya Inti Sentosa. Sertifikat tersebut diterbitkan di wilayah yang jelas merupakan area perairan, melanggar aturan tata ruang dan agraria. Hal ini patut diduga terkait tidak adanya validasi memadai tentang lokasi dan status lahan sebelum penerbitan sertifikat.

Aplikasi Bhumi adalah contoh inovasi sektor publik yang membuat publik terlibat pengawasan. Hal ini memungkinkan karena data spasial Bhumi menggabungkan data dari berbagai sumber untuk menciptakan satu peta (One Map Policy) yang jadi acuan. Dengan integrasi ini, tumpang tindih data dapat dihindari, dan status lahan seharusnya dapat diverifikasi secara akurat sebelum sertifikat diterbitkan.

Melalui aplikasi Bhumi, warga dapat mengakses informasi terkait status hukum lahan, zonasi tata ruang, dan proses perizinan. Transparansi ini memungkinkan masyarakat untuk memantau dan melaporkan potensi pelanggaran. Sistem pelaporan dalam aplikasi memungkinkan warga melaporkan dugaan pelanggaran secara langsung. Laporan ini dapat diverifikasi dan ditindaklanjuti oleh pemerintah, menciptakan mekanisme akuntabilitas yang lebih baik.

Ke depan, aplikasi ini perlu pula untuk mempermudah periksa jejak audit digital setiap proses perizinan dan keputusan terkait pengelolaan lahan terekam secara digital, memudahkan identifikasi dan investigasi jika terjadi penyimpangan.

Bicara aplikai Bhumi tidak hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang membangun relasi akuntabilitas sosial antara pemerintah dan warga. Bahwa warga memiliki akses ke informasi penting yang sebelumnya sulit dijangkau.

Transparansi juga meningkatkan kesadaran publik mengenai pentingnya tata kelola lahan yang baik. Hal ini mendorong partisipasi warga untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan menghindari eksploitasi lahan secara ilegal.