Pedang Bermata Dua itu Bernama Big Data
  28 Maret 2018
Pedang Bermata Dua itu Bernama Big Data
Christopher Wylie sebagai whistleblower dari kasus Cambridge Analytica di depan parlemen Inggris

Pada Selasa (27/3), Business Insider memuat sejumlah pengakuan pemilik akun yang terkaget-kaget dengan betapa komprehensif dan detilnya data yang dimiliki raksasa teknologi informasi itu, setelah mereka meminta data itu diunduh dan dijadikan format Zip. Facebook bahkan memiliki kontak di ponsel dan rekaman pesan pendek yang pernah dikirim dan diterima, padahal ini tidak terhubung dengan layanan.

“Bahkan mereka tahu berapa kali saya menghubungi setiap individu selama bertahun-tahun, termasuk yang saya sudah lupakan sekalipun. Semua panggilan dan pesan melalui ponsel, yang tak ada hubungannya dengan FB,” cuit Buffetkhor (@yDixonCider) melalui Twitter.

Ini semakin melengkapi kehebohan dalam dua minggu terakhir, betapa publik di Amerika Serikat disuguhi berita tentang keterlibatan Cambridge Analytica yang menyedot data pribadi 50 juta akun Facebook. Data tersebut digunakan untuk pemenangan Donald Trump pada pemilihan presiden di tahun 2016.

Hingga artikel ini ditulis (28/3), mengutip CNN Money, berita ini telah berdampak pada turunnya saham Facebook hampir 7%, atau setara dengan Rp 509 triliun. Dampak lainnya, gerakan #deletefacebook dan #boycottfacebook juga muncul setelah warga net melihat pihak Cambridge Analytica dan Facebook terlihat tidak merespon secara tepat. Mulai Brian Acton dan Elon Musk mulai menghapus akun mereka, dan telah diikuti oleh ribuan orang.

Psikometrika dan Penyalahgunaan Big Data

Cambridge Analytica (CA) diduga kuat telah secara illegal telah menyedot data pribadi sekitar 50 juta akun warga Amerika Serikat yang memiliki hak pilih pada 2014, dan berlanjut hingga pemilihan presiden tahun 2016. Ada beberapa nama yang disebut terlibat. Misalnya Robert Leroy Mercer, pengusaha yang juga pendukung Partai Republik, telah membiayai CA untuk mendukung Senator Ted Cruz, kemudian Donald Trump.

CA ialah perusahaan berbasis di Inggris, bergerak di bidang penggalian dan analisis data, serta strategi komunikasi untuk keperluan electoral. Perusahaan ini banyak didukung tokoh konservatif. Tak hanya Mercer yang dikenal dalam mengkampanyekan Brexit, ada pula Stephen (Steve) Kevin Bannon, yang sempat menjabat sebagai Kepala Strategis di Gedung Putih pada masa awal pemerintahan Trump. 

Sebagaimana pernah dikutip Reuters pada tahun 2017, Steve Bannon adalah pembisik Trump tentang pengurangan imigran dari Mexico dan pembatasan perdaganan bebas dengan Tiongkok. CA dipimpin oleh Direktur Eksekutif yaitu Alexander Nix.

Bagaimana data Facebook kemudian dimanfaatkan oleh CA? Facebook mengumpulkan data pribadi yang diagregasi ke dalam sistem sehingga dapat digunakan untuk beriklan kepada pengguna, atau membikin kuis online, yang sejatinya psikotest, memungkinkan perusahaan semacam CA menyedot seluruh profil pemilik akun. Tak hanya data pribadi, melainkan hingga preferensi politik bahkan orientasi seksual.

Agregasi profil data inilah yang disebut sebagai big data. Di tangan CA, didukung Alexander Kogan, puluhan juta data itu diolah dengan pendekatan psikometrika, awalnya dikembangkan Michal Kosinski, yang dapat memprediksi secara akurat perilaku pemiliki akun.

CA menggunakannya untuk menyasar pemilih langsung ke ruang pribadi mereka, yaitu di teras media sosial masing-masing. Setelah tahu karakter pemilih, apakah dia seorang pemilih loyal, mudah berpindah (swing voters), atau masih pikir-pikir, barulah kampanye langsung dimulai.

Sebagaimana diungkap oleh Hannes Grassegger dan Mikael Krogerus, pendukung setia Partai Demokrat yang yang tak terlalu loyal untuk memilih Hillary Clinton misalnya, disodori postingan iklan yang menyudutkan kegagalan Clinton Foundation membantu warga yang terdampak gempa di Haiti, sehingga mereka memilih Golput. Atau video postingan yang mengutip ucapan Hillary menyebut pria kulit hitam sebagai predator, hanya muncul di teras Facebook pemilih Afrika-Amerika yang pada periode sebelumnya jelas-jelas mendukung Barrack Obama sebagai kandidat Partai Demokrat.

Dengan jumlah klik yang meningkat pada iklan-iklan semacam ini yang berbuah keuntungan, tentunya jadi pertanyaan apakah Facebook benar-benar tidak tahu, atau melakukan pembiaran.

Big Data dan Perlindungan Data Pribadi

“Di Indonesia sendiri potensi penyalahgunaan big data bisa saja terjadi”, ucap Ilham Saenong, pegiat keterbukaan informasi publik. Tidak hanya Facebook, Ilham menyebutkan dengan agregasi data yang dilakukan melalui aplikasi transportasi online juga membuka peluang penyalahgunaan. Hal ini disebabkan tidak hanya kurangnya kesadaran soal privasi, melainkan juga belum disahkannya UU Perlindungan Data Pribadi.

"Urgensi UU Perlindungan Data Pribadi di Indonesia sangat besar karena hari ni ada sebuah situasi yang disebut sebagai mode sistem data intensif yaitu semua orang ingin mengumpulkan data dalam jumlah besar, baik dari kalangan pemerintah atau swasta," tutur peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, Wahyudi Djafar, sebagaimana dikutip oleh Liputan6.com, tahun lalu.

Mengacu pada draf UU Data Pribadi, data pribadi adalah setiap data tentang kehidupan seseorang baik yang teridentifikasi dan/atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik dan/atau non elektronik.

Ada juga yang disebut sebagai Data Pribadi Sensitif, adalah data pribadi yang memerlukan perlindungan khusus yang terdiri dari data yang berkaitan dengan agama/keyakinan, kesehatan, kondisi fisik dan kondisi mental, kehidupan seksual, data keuangan pribadi, dan data pribadi lainnya yang mungkin dapat membahayakan dan merugikan privasi subjek data.

Contoh yang sering terjadi ialah data kepemilikan asuransi dan kartu kredit dengan limit tertentu dapat diperjualbelikan. Sehingga menimbulkan gangguan bagi si pemilik rekening, atau justru berpotensi menjadi korban kejahatan. Contoh lain ialah data kesehatan per orang dapat disalahgunakan oleh industry farmasi untuk masuk menjajakan produk mereka ke ruang privasi.

Big data memang memiliki tujuan untuk membuat sebuah industri dan negara menjadi lebih baik, tapi di sisi lain memunculkan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan data pribadi, sehingga membuatnya pedang bermata dua. Peluang penyalahgunaan data pribadi semakin besar dengan banyaknya aturan yang memberikan ruang bagi institusi pemerintah ataupun swasta untuk mengumpulkan dan membuka data-data pribadi. []


Terkait